Jumat, 11 Desember 2020

PUPUK CINTA KEBINEKAAN

PUPUK CINTA KEBINEKAAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan warna-warni suku bangsa, agama dan bahasa. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1340 suku bangsa dan 1211 bahasa daerah. Berdasarkan Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 diakui 6 agama di Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan. Keberagaman seharusnya menjadi sumber identitas yang saling menyatukan ketika hal ini dipandang sebagai sebuah anugerah dan diiringi dengan rasa toleransi . Beberapa kondisi yang dapat terjadi karena adanya keberagaman, yaitu: (1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-hubungan antar kelompok, (2) pelaku konflik melihat sebagai all out war (perang habis-habisan), dan (3) proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain (Iqbal, 2014). Kondisi tersebut membuat bangsa Indonesia rentan mengalami konflik. Diantara beberapa penyebab konflik, issue keyakinan paling sering dan sangat sensitif terjadi di Indonesia (Hapsari, 2017: 56). Data Lingkaran Survei Indonesia dan Yayasan Denny J.A (Iqbal, 2014) mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan dan bertetangga dengan yang berbeda. Sebanyak 15,1% responden mengaku tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga berbeda agama, ditambah lagi situasi ini disertai dengan tindakan kekerasan lainnya (Iqbal, 2014). Kenyataan lain, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak merasakan kedamaian (Barida, 2017). Hal ini dibuktikan dengan banyak kasus yang dapat dilihat secara langsung maupun melalui media massa seperti pembunuhan, pencurian, korupsi sistemik, dan berbagai macam konflik. Satu diantara contoh konflik yang terjadi di Indonesia ialah Konflik Maluku. Konflik ini merupakan konflik kekerasan dengan latar belakang perbedaan agama, yakni antara kelompok Islam dan Kristen. Konflik Maluku disebut menelan korban terbanyak, yaitu sekitar 8-9 ribu orang tewas. Selain itu, lebih dari 29 ribu rumah terbakar, serta 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi merupakan yang paling lama, yakni mencapai 4 tahun ( https://nasional.tempo.co ) . Menurut hasil penelitian Ali-Fauzi dkk. hampir di seluruh wilayah Indonesia pernah mengalami konflik keagamaan dengan menggunakan aksi damai ataupun kekerasan. Menurut Adhani (2014:113) nalar masyarakat tentang konsep keberagaman masih terpaku pada tafsir hegemonik yang sarat dengan prasangka, kecurigaan, kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang berada di luar dirinya (the other). Akibatnya ikatan-ikatan sosial melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam kelompoknya sendiri (in group) dan tidak berlaku bagi kelompok lain (other group) ( Adhani, 2014: 113 ). Cara memandang perbedaan dengan sudut pandang seperti itulah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang jika berlangsung secara berkepanjangan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Untuk mengantisipasi potensi negatif konflik secara berkepanjangan di masa depan, perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan formal dan nonformal tentang konsep pendidikan multikultural bagi setiap warga negara Indonesia (Adhani, 2014 : 113 ). James Banks ( 1997: 3 ) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunnatullah) serta bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Terdapat tiga model pendidikan multikultural, diantaranya ialah Pertama, content-oriented programs (program-program yang memfokuskan pada konten) merupakan jenis yang paling umum dalam pendidikan hubungan antaretnik dan multikultural. Program ini lebih mendalam meliputi banyak materi multikultural yang masih melingkupi beberapa persoalan yang meliputi materi-materi dan gagasan-gagasan mendalan tentang beberapa problem sosiokultural yang beragam (Hernandez, 1989: 77). Kedua, student-oriented programs (program-program yang memfokuskan bagaimana siswa belajar), mencoba memunculkan karakteristik-karakteristik ataupun adat-istiadat yang dimiliki oleh masing-masing etnik minoritas tradisional, minoritas maju, maupun etnik-etnik besar (Hernandez, 1989: 77). Ketiga, Socially-Oriented Programs (Program-program yang memfokuskan pada proses sosial). Sedangkan Menurut Adhani (2014: 120) pendidikan multikultural di Indonesia harus mengembangkan model pembelajaran yang mengarah pada beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki warga Negara, yakni: Pertama, mengembangkan kompetensi akademik standar dan dasar (standar and basic academic skills) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam beraneka jenis keberagaman. Kedua, mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik (a better understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya dan agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas (intelegent dicisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real life problems) melalui sebuah proses demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical inquiry). Keempat, membantu mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan konstruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis, egaliter, tanpa ada diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai asasi universal. Memupuk sikap cinta kebinekaan sejak usia dini sehingga sikap tersebut dapat tumbuh subur sejak dini merupakan salah satu hal yang penting. Hal ini agar mereka dapat menganggap keberagaman sebagai suatu keniscayaan yang harus dijaga dengan sikap toleransi dan diikat dengan rasa persatuan yang kokoh agar tidak mudah terpecah belah melalui konflik-konflik yang ditimbulkan dan menjadi hancur. Sumber: Adhani, Yuli. 2014. “Konsep Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Alternatif Pencegahan Konflik”. Jakarta: UNJ. Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014. Barida, Muya. (2017). Inklusivitas Eksklusivitas: Pentingnya Pengembangan Wawasan Kebangsaan dalam Mewujudkan Kedamaian yang Hakiki bagi Masyarakat Indonesia. The 5th URECOL Proceeding. Yogyakarta: UAD. Hapsari, Sri. 2017.”Menyiapkan Generasi Emas Berwawasan Kebangsaan dalam Masyarakat Multikultural”. Medan: UNIMED. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1, Hal. 56-59 . Iqbal, Mahatir Muhammad. 2014. Pendidikan Multikultural Interreligius: Upaya Menyemai Perdamaian dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia. Sosiodidaktika, vol. 1 (1), hal. 89-98. James Banks, Educating Citizens in a Multikultural Society, New York and London: Teachers College Columbia University, 1997, h. 3. Qodir, Zuly. 2008. “Kebhinekaan, Kewargaan dan Multikulturalisme”. Yogyakarta: UII. Jurnal Sosio Didaktika: Social Science Education Journal Vol. I No. 1. Tempo.co. 2015. “Konflik yang Dipicu Keberagaman Budaya Indonesia”. Diakses dari https://nasional.tempo.co pada 22 Agustus 2018 pukul 15: 46 WIB. #KKNMandiriUNY #KKNDaringUNY2020

Kamis, 10 September 2020

Resonansi Pendidikan di Era Disrupsi Teknologi

 


Resonansi Pendidikan di Era Disrupsi Teknologi

Oleh: Febriani

Pendidikan merupakan kata yang sering melintasi koklea manusia dan melekat dalam kehidupan, sebab sering dijuluki sebagai pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Komponen utama yang tak lepas dari pendidikan yaitu tenaga pendidik dan peserta didik. Kedua komponen ini harus berada dalam frekuensi yang sama dalam prosesnya agar tercipta pendidikan harmonis.

Tenaga pendidik dan peserta didik saat ini sedang berada pada dimensi disrupsi teknologi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi dalam proses pendidikan yang berdampak pada keharmonisannya. Dampak yang ditimbulkan diantaranya  membuat proses pendidikan berjalan dengan lancar bahkan memudahkan prosesnya, seperti dengan adanya jaringan internet yang memudahkan peserta didik dalam mengakses ilmu pengetahuan dimanapun dan kapanpun tanpa batas, memudahkan peserta didik dan tenaga pendidik dalam berkomunikasi meskipun tidak berada pada ruang dan waktu yang sama serta memudahkan dalam memonitor sistem pendidikan khususnya pada negara Indonesia yang memiliki wilayah luas dan pulau-pulau yang terpisahkan oleh jarak yang jauh.

Gambar 1. Ilustrasi Penggunaan Teknologi dalam proses pembelajaran

Komponen-komponen pendidikan memiliki frekuensi alami yang sudah terbentuk sebelum adanya disrupsi teknologi. Ketika disrupsi teknologi tiba dengan frekuensinya sendiri maka akan menciptakan beberapa fenomena baru pada pendidikan. Saat frekuensi pada disrupsi teknologi sama dengan frekuensi alami yang dimiliki oleh komponen pendidikan maka akan terjadi peristiwa resonansi dimana komponen tersebut dapat mengikuti perubahan yang dihasilkan oleh disrupsi teknologi, misalnya disrupsi teknologi menciptakan perpustakaan yang dikemas dalam bentuk perpustakaan digital sehingga dapat mengakses lebih banyak buku, artikel, dan jurnal. Peserta didik dan tenaga pendidik dapat mengikuti penggunaan perpustakaan digital ini dan tidak semata-mata mengandalkan perpustakaan konvensional dengan mempelajari cara menggunakan komputer dan mengakses internet untuk bisa menggunakan perpustakaan digital, dalam hal ini tenaga pendidik dan peserta didik telah berusaha untuk mengubah frekuensi alami yang dimiliki agar dapat menyesuaikan dengan frekuensi disrupsi teknologi, sehingga terjadilah amplitudo maksimal atau perubahan terjauh yang dapat dihasilkan pada proses pendidikan. Ketika frekuensi pada disrupsi teknologi sangat tinggi dan frekuensi alami pada komponen-komponen pendidikan tetap maka proses pendidikan tidak merambat dan tidak menimbulkan perubahan pada proses pendidikan

Gelombang yang diciptakan oleh disrupsi teknologi akan memberikan kemudahan terlebih jika frekuensi pada komponen pendidikan dapat sama dengan yang dimiliki disrupsi teknologi. Namun dibalik semua kemudahan yang dihasilkan oleh adanya penjalaran energi ini, terdapat suatu fenomena baru yang terjadi karena adanya perilaku inersia atau keengganan untuk  berubah dari tenaga pendidik. Fenomena yang terjadi ialah dengan tergantikannya posisi tenaga pendidik oleh produk yang dihasilkan pada dimensi disrupsi teknologi ini, misalnya seorang tenaga pendidik memiliki keterbatasan mengenai suatu cabang ilmu yang mungkin ingin diketahui oleh peserta didiknya, tetapi dengan adanya produk yang dihasilkan pada dimensi disrupsi teknologi ini, semua yang ingin diketahui oleh peserta didik dapat terjawab dengan mudah dan cepat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi calon tenaga pendidik yaitu pemuda-pemuda di era milenial saat ini.Tentunya tantangan bagi tenaga pendidik saat ini bukan hanya semata mengenai penguasaan materi, namun juga tentang kemampuan lain yang dapat menunjang proses pendidikan.

Tenaga pendidik tidak akan semudah itu tergantikan oleh produk hasil disrupsi teknologi jika seorang tenaga pendidik khususnya calon tenaga pendidik yang merupakan generasi milenial dapat menciptakan sesuatu yang istimewa dan tidak dapat dilakukan oleh produk hasil teknologi disrupsi, diantaranya ialah dengan mengumpulkan banyak pengalaman selama proses belajar, meraih prestasi-prestasi dan kepribadian yang baik. Hal ini dapat digunakan sebagai modal bagi tenaga pendidik untuk dapat berperan sebagai motivator dan inspirator  demi menunjang pendidikan yang maju. Motivasi dan inspirasi sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses pendidikan. Hal ini  dapat diberikan oleh tenaga pendidik, jika sudah dipersiapkan sejak dini serta dapat menjadi jawaban dalam menghadapi tantangan pada dimensi disrupsi teknologi saat ini.



#KKNMandiriDaringUNY2020

#KKNOnlineUNY2020


Rabu, 22 Juli 2020

Media Sosial di tengah Pandemi Covid-19: Memicu atau Melawan Penyebaran?




Media Sosial di tengah Pandemi Covid-19: Memicu atau Melawan Penyebaran?
Oleh:
Febriani
Universitas Negeri Yogyakarta



Berkembangnya Pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini diiringi dengan tersebarnya banyak berita kebohongan (hoaks) melalui media sosial. Tercatat hingga 08 April 2020 terdapat 474 isu hoaks mengenai Covid-19 yang tersebar pada lebih dari 1000 platform digital (kominfo.go.id, 2020). Berita tersebut tersebar dikarenakan adanya oknum tidak bertanggung jawab yang mencari keuntungan dengan memanfaatkan situasi saat ini. Kondisi ini juga didukung oleh para warganet atau yang biasa disebut sebagai netizen (kbbi.kemdikbud.go.id) dengan menyebarkan berita tersebut di media sosial tanpa mencermati terlebih dahulu.
Berita hoaks tidak sendiri menjadi keresahan di media sosial saat ini. Hal ini dikarenakan media sosial juga terisi dengan banyaknya ujaran kebencian dan hujatan terutama kepada orang-orang yang terlibat dengan Covid-19. Salah satu kejadian yang sangat menguras nurani adalah hujatan yang diberikan kepada pasien 01 dan 02 positif Covid-19 (www.tagar.id., 2020). Bukannya saling memberikan semangat dan dukungan untuk pasien, namun para pengguna media sosial justru membagikan identitas pasien dengan semaunya dan melontarkan hujatan. Selain itu terdapat pula kasus tenaga medis yang juga dihujat karena mengeluhkan kurangnya APD (alat pelindung diri) saat bertugas beberapa waktu lalu. Akan tetapi, entah bagaimana postingan tersebut justru menjadi viral bahkan hingga diberitakan oleh banyak portal berita ternama. Ketika berita atau postingan tersebut dibaca oleh warganet lainnya seolah membuat geram dan naik darah. Hal ini menjadi pemicu banyak warganet yang justru seolah tertekan ketika membaca atau terlibat di dalam media sosial saat merebaknya Pandemi Covid-19.
Keresahan atau perasaan tertekan yang dialami oleh warganet yang hanya berperan sebagai pembaca dan mengkonsumsi banyak berita/postingan yang negatif dapat memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan psikologis. Hal ini didukung pula dengan banyaknya kegiatan yang hanya dilakukan di rumah saja sehingga bisa jadi menimbulkan kebosanan atau banyaknya beban kehidupan individu karena permasalahan ekonomi dan keluarga yang timbul di tengah Pandemi Covid-19. Kondisi kesehatan psikologis seorang individu yang menurun dapat berkorelasi dengan menurunnya imun (Wardhana, 2016) yang tentunya berbahaya di tengah Pandemi Covid-19 saat ini. Berdasarkan hal tersebut terlihat jika penggunaan media sosial tanpa disadari  juga dapat menjadi pemicu tersebarnya Covid-19 secara tidak langsung.
Media sosial yang tanpa disadari dapat menjadi pemicu penyebaran Covid-19 sebenarnya juga dapat dimanfaatkan sebaliknya yaitu sebagai perlawanan terhadap Covid-19 secara tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial secara bijak untuk bergotong-royong saling membantu sesama yang kesulitan selama masa Pandemi Covid-19 dan menebarkan hal-hal positif dengan saling menyemangati. Terdapat pepatah yang mengatakkan “mulutmu harimaumu” tapi sepertinya sekarang akan berubah menjadi “Jarimu harimau mu”. Jika semua warganet mengambil pilihan untuk melawan Covid-19 dengan memutuskan Hoaks dan menebarkan kebaikkan maka secara tidak langsung media sosial juga telah menjadi senjata yang kuat untuk memenangkan perang melawan Covid-19. Oleh sebab itu, jangan gunakan media sosial sebagai pemicu untuk meledakkan bom Pandemi Covid-19, namun mari gunakan sebagai senjata untuk memenangkan perang melawan Pandemi Covid-19.

Sumber:
KBBI Daring. 2016. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/ pada 19 Juli 2020 pukul 10. 22 WIB.
Kominfo.go.id. 2020. Mari Gunakan Ruang Digital dengan Cerdas di tengah Pandemi Covid-19. Artikel berita KOMINFO. Diakses dari https://kominfo.go.id/ pada 19 JUli 2020 pukul 09. 37 WIB.
Tagar.id.  2020. Dampak Buruk jika Identitas Pasien Covid-19 Dibuka. Artikel beritatagar.id. Diakses dari https://www.tagar.id/ pada 19 Juli 2020 pukul 10. 47 WIB.
Wardhana, M. 2016. Pengantar Psikoneuroimunologi. Bali: Vaikuntha International Publication (VIP).

#KKNUNY2020
#KKNONLINEUNY2020
#KKNMANDIRIUNY2020



Jumat, 12 Juni 2020

Selamat Datang Peserta Didik Baru

Selamat Datang Peserta Didik Baru
Oleh: Febriani
Proses Pembelajaran Peserta Didik di Kelas @SMAN 1 Prambanan Klaten
Penerimaan peserta didik baru (PPDB) merupakan proses pendaftaran para peserta didik untuk diseleksi dan diputuskan diterima atau tidak pada suatu sekolah. Proses ini mengalami banyak perubahan peraturan yang  kontroversial seperti adanya kebijakan zonasi. Diluar dari kebijakan tersebut peserta didik yang telah melewati proses PPDB dan dinyatakan diterima pada sekolah yang diinginkan tentu sangat bersyukur dan berada di dalam euforia kegembiraan. Peserta didik dan orang tua akan bersemangat menyambut hari pertama masuk ke sekolah. Namun sebelum itu terdapat suatu tradisi yang sudah banyak sekali dikenal dikalangan masyarakat dan menjadi hal yang harus dilewati oleh peserta didik sebelum dimulainya kegiatan pebelajaran. Tradisi tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Ospek/Massa Orientasi Siswa (MOS)/Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) dll.
Massa orientasi siswa diadakan oleh sekolah dengan tujuan untuk membantu para peserta didik mengenali lingkungan sekolahnya yang baru, saling mengenal dengan teman sekelas, seangkatannya, kakak kelas, para guru, dan staff. Akan tetapi banyak orang tua dan peserta didik yang masih berpikir jika hal tersebut hanya membuang waktu, menyebabkan anak-anak hanya lelah tak berguna dan takut akan dipelonco oleh kakak kelas. Hal ini wajar saja dirasakan oleh para orang tua dan peserta didik, karena pada kenyataannya memang terdapat banyak kasus perpeloncoan ataupun kasus kelelahan yang terjadi pada saat MOS dimasa yang lampau bahkan hingga saat ini pun masih ada meskipun telah berkurang. Satu diantaranya adalah pada tahun 2009 silam, seorang siswa baru di Sekolah Menengah Atas 16 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/7/2009), ditemukan tewas di sekolahnya setelah mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) selama tiga hari. Diduga korban bernama Roy Aditia Perkasa stres akibat banyaknya kegiatan yang dilakukan panitia (Hanifah,2019). Kejadian seperti ini tentunya harus dievaluasi dengan baik agar tidak terulang. Peran guru sebagai orang yang lebih dewasa dalam membimbing panitia MOS yang terdiri dari peserta didik juga sangatlah besar. Guru harus dapat memantau dengan baik dan menelaah dengan seksama berbagai kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan agar kegiatan MOS yang bertujuan baik sebagai media sosialisasi sekolah dapat berjalan dengan lancar.


Ilustrasi Kepribadian setiap Individu @ SMAN 11 Yogyakarta
Proses sosialisasi yang baik dari kegiatan MOS yang berjalan lancar akan membantu peserta didik selangkah lebih maju dalam proses adaptasi. Hal ini dikarenakan setiap peserta didik berasal dari sekolah yang berbeda, keluarga yang berbeda dan individu yang berbeda tentunya membawa kepribadian yang berbeda. Kepribadian yang menurut Sigmund Freud terdiri dari tiga elemen yaitu id,ego, dan superego saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks, sehingga dengan adanya proses saling mengenal melalui MOS dapat membantu peserta didik lebih mudah menjalani proses sosialisasi selanjutnya selama bersekolah.
Kegiatan MOS ini jika berjalan dengan baik maka dapat digunakan untuk memulai pendidikan multikultural. Hal ini disebabkan peserta didik baru yang heterogen dan berasal dari banyak suku, agama, dan ras perlu ditanamkan rasa pengertian, kebersamaan, dan kedamaian agar dapat terhindar dari konflik negatif karena perbedaan tersebut. Untuk dapat membangun hal itu diperlukan usaha menanamkan konsep, nilai-nilai dan keberadaan dari etnis atau golonga lain pada peserta didik baru. Pendidikan multikultural dapat melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka yang baru.
Ilustrasi Interaksi antara peserta didik di lingkungans ekolah yang kondusif @SMAN 11 Yogyakarta

   Terciptanya proses sosialisasi yang sempurna serta adanya karakter peserta didik yang baik dari kegiatan MOS tentunya dapat menjadi awal yang baik untuk membantu terciptanya kultur sekolah yang kondusif. Jika sekolah kondusif maka proses pembelajaran peserta didik pun dapat berjalan dengan baik sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini tentunya juga akan berdampak terhadap mutu sekolah yang baik. 
     Proses yang diawali dengan sesuatu yang baik tentunya akan memberikan hasil yang baik pula. Ketika kita membangun dengan fondasi yang kokoh maka bangunan akan berdiri dengan kuat dan tak mudah roboh. Besar harapan semoga pandemi Covid-19 dapat cepat berlalu dan teman-teman peserta didik baru dapat merasakan proses MOS yang menyenangkan dan bermanfaat secara langsung di sekolah masing-masing. Akhir kata, Selamat Datang Peserta Didik Baru...:)

Stay safe and be happy :)

Sumber:
Hanifah, S. 2019. Deretan Kasus MOS Berujung Maut. Artikel berita Merdeka.com. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/deretan-kasus-mos-berujung-maut.html, pada 12 Juni 2020 pukul 10.59 WIB.
Pembelajaran Sosio Antropologi Pendidikan :)



PUPUK CINTA KEBINEKAAN

PUPUK CINTA KEBINEKAAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan warna-warni suku bangsa, agama dan bahasa. Menurut sensus BPS ta...