Jumat, 11 Desember 2020

PUPUK CINTA KEBINEKAAN

PUPUK CINTA KEBINEKAAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan warna-warni suku bangsa, agama dan bahasa. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1340 suku bangsa dan 1211 bahasa daerah. Berdasarkan Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 diakui 6 agama di Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan suatu keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan. Keberagaman seharusnya menjadi sumber identitas yang saling menyatukan ketika hal ini dipandang sebagai sebuah anugerah dan diiringi dengan rasa toleransi . Beberapa kondisi yang dapat terjadi karena adanya keberagaman, yaitu: (1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-hubungan antar kelompok, (2) pelaku konflik melihat sebagai all out war (perang habis-habisan), dan (3) proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain (Iqbal, 2014). Kondisi tersebut membuat bangsa Indonesia rentan mengalami konflik. Diantara beberapa penyebab konflik, issue keyakinan paling sering dan sangat sensitif terjadi di Indonesia (Hapsari, 2017: 56). Data Lingkaran Survei Indonesia dan Yayasan Denny J.A (Iqbal, 2014) mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan dan bertetangga dengan yang berbeda. Sebanyak 15,1% responden mengaku tidak nyaman hidup berdampingan dengan tetangga berbeda agama, ditambah lagi situasi ini disertai dengan tindakan kekerasan lainnya (Iqbal, 2014). Kenyataan lain, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak merasakan kedamaian (Barida, 2017). Hal ini dibuktikan dengan banyak kasus yang dapat dilihat secara langsung maupun melalui media massa seperti pembunuhan, pencurian, korupsi sistemik, dan berbagai macam konflik. Satu diantara contoh konflik yang terjadi di Indonesia ialah Konflik Maluku. Konflik ini merupakan konflik kekerasan dengan latar belakang perbedaan agama, yakni antara kelompok Islam dan Kristen. Konflik Maluku disebut menelan korban terbanyak, yaitu sekitar 8-9 ribu orang tewas. Selain itu, lebih dari 29 ribu rumah terbakar, serta 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank hancur. Rentang konflik yang terjadi merupakan yang paling lama, yakni mencapai 4 tahun ( https://nasional.tempo.co ) . Menurut hasil penelitian Ali-Fauzi dkk. hampir di seluruh wilayah Indonesia pernah mengalami konflik keagamaan dengan menggunakan aksi damai ataupun kekerasan. Menurut Adhani (2014:113) nalar masyarakat tentang konsep keberagaman masih terpaku pada tafsir hegemonik yang sarat dengan prasangka, kecurigaan, kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang berada di luar dirinya (the other). Akibatnya ikatan-ikatan sosial melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam kelompoknya sendiri (in group) dan tidak berlaku bagi kelompok lain (other group) ( Adhani, 2014: 113 ). Cara memandang perbedaan dengan sudut pandang seperti itulah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang jika berlangsung secara berkepanjangan dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Untuk mengantisipasi potensi negatif konflik secara berkepanjangan di masa depan, perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan formal dan nonformal tentang konsep pendidikan multikultural bagi setiap warga negara Indonesia (Adhani, 2014 : 113 ). James Banks ( 1997: 3 ) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/Sunnatullah) serta bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Terdapat tiga model pendidikan multikultural, diantaranya ialah Pertama, content-oriented programs (program-program yang memfokuskan pada konten) merupakan jenis yang paling umum dalam pendidikan hubungan antaretnik dan multikultural. Program ini lebih mendalam meliputi banyak materi multikultural yang masih melingkupi beberapa persoalan yang meliputi materi-materi dan gagasan-gagasan mendalan tentang beberapa problem sosiokultural yang beragam (Hernandez, 1989: 77). Kedua, student-oriented programs (program-program yang memfokuskan bagaimana siswa belajar), mencoba memunculkan karakteristik-karakteristik ataupun adat-istiadat yang dimiliki oleh masing-masing etnik minoritas tradisional, minoritas maju, maupun etnik-etnik besar (Hernandez, 1989: 77). Ketiga, Socially-Oriented Programs (Program-program yang memfokuskan pada proses sosial). Sedangkan Menurut Adhani (2014: 120) pendidikan multikultural di Indonesia harus mengembangkan model pembelajaran yang mengarah pada beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki warga Negara, yakni: Pertama, mengembangkan kompetensi akademik standar dan dasar (standar and basic academic skills) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam beraneka jenis keberagaman. Kedua, mengembangkan kompetensi sosial agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik (a better understanding) tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya dan agama lain dalam masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis dan membuat keputusan yang cerdas (intelegent dicisions) tentang isu-isu dan masalah keseharian (real life problems) melalui sebuah proses demokratis atau penyelidikan dialogis (dialogical inquiry). Keempat, membantu mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan konstruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis, egaliter, tanpa ada diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai asasi universal. Memupuk sikap cinta kebinekaan sejak usia dini sehingga sikap tersebut dapat tumbuh subur sejak dini merupakan salah satu hal yang penting. Hal ini agar mereka dapat menganggap keberagaman sebagai suatu keniscayaan yang harus dijaga dengan sikap toleransi dan diikat dengan rasa persatuan yang kokoh agar tidak mudah terpecah belah melalui konflik-konflik yang ditimbulkan dan menjadi hancur. Sumber: Adhani, Yuli. 2014. “Konsep Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Alternatif Pencegahan Konflik”. Jakarta: UNJ. Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014. Barida, Muya. (2017). Inklusivitas Eksklusivitas: Pentingnya Pengembangan Wawasan Kebangsaan dalam Mewujudkan Kedamaian yang Hakiki bagi Masyarakat Indonesia. The 5th URECOL Proceeding. Yogyakarta: UAD. Hapsari, Sri. 2017.”Menyiapkan Generasi Emas Berwawasan Kebangsaan dalam Masyarakat Multikultural”. Medan: UNIMED. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1, Hal. 56-59 . Iqbal, Mahatir Muhammad. 2014. Pendidikan Multikultural Interreligius: Upaya Menyemai Perdamaian dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia. Sosiodidaktika, vol. 1 (1), hal. 89-98. James Banks, Educating Citizens in a Multikultural Society, New York and London: Teachers College Columbia University, 1997, h. 3. Qodir, Zuly. 2008. “Kebhinekaan, Kewargaan dan Multikulturalisme”. Yogyakarta: UII. Jurnal Sosio Didaktika: Social Science Education Journal Vol. I No. 1. Tempo.co. 2015. “Konflik yang Dipicu Keberagaman Budaya Indonesia”. Diakses dari https://nasional.tempo.co pada 22 Agustus 2018 pukul 15: 46 WIB. #KKNMandiriUNY #KKNDaringUNY2020

PUPUK CINTA KEBINEKAAN

PUPUK CINTA KEBINEKAAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan warna-warni suku bangsa, agama dan bahasa. Menurut sensus BPS ta...